TPost — Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Simpul JATAM Maluku Utara, merilis laporan dengan judul: “Nikel dari Tanah Terampas: Kriminalisasi Warga dan Pertarungan Kuasa Antar-Korporasi di Halmahera,” pada, Senin (10/11/2025).
Laporan ini mengungkap wajah telanjang perebutan sumber daya nikel di Halmahera Timur—salah satu kawasan paling strategis, tetapi juga paling terpinggirkan dalam sejarah eksploitasi mineral di Indonesia.
Kawasan ini telah berubah dari ruang hidup komunitas adat yang semula bergantung pada ekosistem hutan, sungai, dan kebun, menjadi ladang konsesi bagi konglomerasi tambang nasional, transnasional, elit politik, dan jaringan militer.
Proses hilirisasi yang dijalankan pemerintah gagal memberikan keadilan lingkungan maupun perlindungan sosial bagi masyarakat lokal.
Penelitian mendalam menemukan bahwa transformasi dimulai dari masuknya PT Aneka Tambang di Pulau Gee pada 1997, hingga belakangan diikuti perusahaan-perusahaan lain seperti PT Weda Bay Nickel, PT Position, dan PT Wana Kencana Mineral.
Proses izin berlangsung secara manipulatif, dengan tumpang tindih administratif dan konversi sepihak lahan dan hutan adat—mengakibatkan masyarakat kehilangan ruang produksi, air bersih, dan identitas budaya mereka.
Tatanan adat dan ekonomi lokal luluh lantak akibat logika ekstraktif dan operasional tambang yang tidak pernah didesain untuk kepentingan masa depan rakyat.
Ringkasan Eksekutif
Kehadiran perusahaan besar meningkatkan konflik horizontal: baik antara korporasi dan warga (kriminalisasi, represi, pemiskinan), maupun antar-korporasi (PT Position, PT Wana Kencana Mineral, PT Wana Kencana Sejati) yang “mempermainkan” tapal batas, dokumen, hingga hukum negara.
Intervensi negara dan aparat hukum justru kerap memihak modal. Ketika masyarakat melakukan aksi damai membela hidup, mereka dihadapkan pada penangkapan dan vonis penjara tanpa pendampingan
hukum yang layak. Negara lebih banyak absen, atau malah terlibat dalam kompromi politik dan permainan kekuasaan bersama korporasi.
Ekspansi tambang meninggalkan jejak tragedi: pencemaran Sungai Sangaji, matinya tanaman pangan (sagu dan pala), pecahnya konflik tapal batas, fragmentasi sosial, hingga kehilangan hak atas tanah dan masa depan.
Sementara, audit lingkungan dan perlindungan negara berjalan semu. Di tengah itu, jejaring bisnis dan elit militer-politik terang-terangan membangun pengaruh, menjadikan Halmahera Timur sebagai model akumulasi kekuasaan baru di sektor minerba.
Temuan Utama
1. Penjarahan Ruang Hidup dan Tatanan Adat oleh Ekspansi Nikel Investigasi menemukan transformasi ruang hidup masyarakat adat di Halmahera Timur akibat perluasan agresif konsesi tambang nikel.
Mulai dari Pulau Gee (PT Antam) hingga kawasan konsesi PT Position, PT Wana Kencana Mineral, dan lain-lain, ekspansi korporasi didorong oleh pemberian izin skala besar di atas lahan adat, pesisir produktif, dan wilayah konservasi.
Bukti dokumenter dan kesaksian lapangan membuktikan: konversi lahan kebun, hutan, dan hilangnya akses air bersih benar-benar terjadi secara sistematis sejak 1997, tanpa keterlibatan atau persetujuan sah komunitas lokal.
2. Skandal Tumpang Tindih Izin, Manipulasi Tapal Batas, dan Pembiaran Negara Penggalian dokumen izin dan wawancara dengan para pihak mengungkap pola tumpang tindih IUP dan izin kehutanan, diperparah oleh perubahan sepihak dokumen tapal batas administratif demi kepentingan korporasi dan jaringan politisi daerah.
Proses legislasi dan administrasi dilakukan tanpa konsultasi masyarakat adat, sehingga konflik kepemilikan dan perubahan tapal batas selalu berujung pada penguatan posisi perusahaan.
3. Kolusi Korporasi, Negara, Militer, dan Aparat Penegak Hukum Penggalian dokumen izin dan wawancara dengan para pihak mengungkap pola tumpang tindih IUP dan izin kehutanan, diperparah oleh perubahan sepihak dokumen tapal batas administratif demi kepentingan korporasi dan jaringan politisi daerah.
Proses legislasi dan administrasi dilakukan tanpa konsultasi masyarakat adat, sehingga konflik kepemilikan dan perubahan tapal batas selalu berujung pada penguatan posisi perusahaan.
4. Kriminalisasi Sistematis dan Represi Kolektif Data lapangan memaparkan relasi langsung antara perusahaan-perusahaan tambang, pejabat birokrat daerah, elite politik, dan aparat keamanan.
Studi jaringan (SNA) membuktikan bahwa tumpang tindih peran, relasi bisnis-militer, serta keterlibatan aparat dalam kriminalisasi warga terjadi secara terstruktur—mulai dari pengamanan operasi tambang hingga intervensi dalam proses hukum dan kompromi perizinan. Negosiasi dan keputusan strategis banyak diputuskan di luar ruang partisipatif warga.
5. “Perang Korporasi”: Saling Lapor, Persekusi Hukum, Oligarki Hukum-Modal Investigasi mengidentifikasi setidaknya dua gelombang kriminalisasi—pertama, penangkapan 27 warga Maba Sangaji dalam aksi damai membela sungai dan hutan.
Kedua, vonis penjara terhadap 11 orang dengan gugatan pasal UU Minerba dan KUHP. Proses hukum berlangsung tanpa pendampingan memadai, seringkali disertai kekerasan verbal-fisik, penandatanganan dokumen paksa, dan minim transparansi. Data menunjukkan represi sebagai alat normalisasi konflik untuk menundukkan resistensi komunitas adat dan memperlancar bisnis.
6. Krisis Sosial-Ekologis: Air, Pangan, dan Identitas yang Terampas Sidik lapangan memperlihatkan: pencemaran Sungai Sangaji, matinya pohon pala dan sagu, stop produksi sagu lokal, dan trauma psikologis meluas di kalangan keluarga petani, pengolah sagu, dan nelayan. Penelitian laboratorium membuktikan tingginya TSS/E. coli, sementara testimoni warga dan dokumentasi visual memperkuat narasi ekologi yang hancur.
Warga kini membeli air galon dan kehilangan identitas serta harga diri sebagai petani pengolah sagu dan peladang tradisional. Air bukan sekadar kebutuhan, melainkan inti rumah dan peradaban komunitas—dan itu kini hilang.
7. Negara Absen, Oligarki Berkuasa
Pada seluruh tahap investigasi—baik proses administrasi izin, pengawasan AMDAL, penanganan sengketa, maupun perlindungan korban—Negara ditemukan secara faktual absen dan justru cenderung menjadi perpanjangan tangan modal. Audit lingkungan tidak jalan, pengawasan tidak efektif, dan ruang advokasi warga semakin menipis.
Di Antara Konsesi: Warga Tersingkir, Alam Dihancurkan
Halmahera, pulau terbesar di gugusan Maluku Utara, sejak lama menjadi pusat eksploitasi sumber daya alam. Di bawah bayang-bayang program strategis nasional, tanahnya berubah menjadi ladang konsesi bagi industri nikel—membentang dari Timur, Tengah, hingga Selatan.
Kebijakan ekstraktif dan agenda hilirisasi yang digulirkan sejak era Rezim Jokowi, lalu diteruskan oleh pemerintahan Prabowo, kian menegaskan posisi Halmahera sebagai medan pertarungan modal besar: arus investasi dan uang mengalir deras, tetapi penderitaan rakyat serta kerusakan ekologis justru semakin dalam dan meluas.
Perubahan paling dramatis tampak di Halmahera Timur. Di sana, ruang hidup tradisional petani dan komunitas adat terus menyusut, terdesak oleh kepungan perusahaan tambang.
Para pengekstrak—PT Position, PT Wana Kencana Mineral (WKM), PT Nusa Karya Arindo (NKA), dan PT Weda Bay Nickel (WBN)—beroperasi berdempetan dalam konsesi yang sering tumpang tindih.
Di balik tumpukan izin dan jargon pembangunan, jejaring korporasi ini meninggalkan jejak bencana ekologis: sungai-sungai tercemar, hutan adat hancur, dan tanah leluhur milik suku O’Hongana Manyawa (Tobelo Dalam) terampas, memaksa mereka bertahan di tengah gempuran perubahan yang tidak mereka ketahui, apalagi minta.
Buku Perampasan Ruang Hidup: Cerita Orang Halmahera (2015) telah mencatat bagaimana penambangan nikel mengubah wajah Halmahera Timur. Lahan-lahan tradisional berganti fungsi, dipaksa tunduk pada logika ekstraksi dan ekonomi uang.
Dari satu rezim ke rezim berikutnya, perusahaan silih berganti berkuasa; namun yang tidak pernah berganti adalah derita rakyat dan luka ekologis yang kian menganga. Dampak ekspansi itu semakin terasa sejak awal 2024.
Di Maba Sangaji, air Sungai Sangaji yang dulu jernih dan sejuk kini berubah kecoklatan, bahkan kemerahan— pertanda pencemaran yang merembet hingga perairan Pulau Mobon, kawasan sakral dan penting bagi nelayan.
Sungai Sangaji sendiri terhubung langsung dengan 600-an anak sungai. Dari airnya, masyarakat menanak nasi, menyeduh kopi, memproses (bahalo) sagu, hingga menyiram kebun.
Masih terekam jelas dalam benak warga, bagaimana mereka biasa meminum air langsung dari sungai tanpa perlu dimasak—segar dan menyehatkan.
Namun sejak perusahaan tambang hadir, semua kebiasaan itu berubah. Dasar sungai yang dahulu berkilau dan memperlihatkan kerikil-kerikil bersih, kini tidak lagi terlihat. Kejernihan yang selama ini menjadi kebanggaan warga telah lenyap.
Awalnya, warga tidak mengetahui penyebab pasti perubahan air sungai. Tidak lama kemudian, kabar tentang aktivitas perusahaan tambang di kawasan hulu mulai terdengar.
Nama PT Position disebut-sebut. Warga baru menyadari keberadaan perusahaan itu menjelang pemilihan legislatif 2024, ketika mereka menerima pembagian tong sampah berlogo PT Position.
Banyak yang mengira itu bagian dari program pemerintah daerah, tanpa menyangka bahwa di balik logo tersebut sedang berlangsung aktivitas pertambangan yang mengancam sumber air utama mereka.
Beberapa waktu kemudian, warga sering melihat perahu ketinting yang mengangkut orang dan mesin bor melintasi sungai. Dari informasi yang beredar, alat-alat itu digunakan untuk eksplorasi tambang.
Namun tidak ada penjelasan resmi. Yang terlihat hanyalah tanda-tanda kerusakan: air sungai semakin keruh dan banjir lumpur setiap turun hujan.
Kekeruhan air mengubah seluruh cara hidup warga Maba Sangaji. Para pengolah sagu—sebagai profesi turun-temurun—terpaksa berhenti bekerja. Air yang digunakan untuk mencuci dan memisahkan pati sagu kini berlumpur. Jika tetap digunakan, hasil sagu dikhawatirkan tercemar dan berbahaya bagi kesehatan.
Ramli Yasim, ketua kelompok pengolah sagu mengaku sangat terpukul.
“Kami rasa berdosa kalau orang makan sagu dari air yang keruh. Kami khawatir orang jadi sakit. Ini soal makanan, soal hidup kami,” ucap Ramli.
Akibatnya, enam anggota kelompok pengolah sagu yang dipimpin Ramli berhenti bekerja. Padahal sebelumnya, mereka bisa menghasilkan hingga empat karung sagu rata-rata per hari dengan
penghasilan sekitar Rp 1 juta.
Dampak serupa juga dirasakan para pekebun. Air Sungai Sangaji yang dulu memberi kehidupan kini membawa lumpur merah yang merusak tanaman.
Tiga pohon pala milik seorang pekebun mati karena akarnya tertutup lumpur. Pohon kelapa dan sagu pun mulai menguning dan layu. Dahulu, banjir sungai membawa bahan organik yang menyuburkan tanah. Kini, banjir berarti kematian bagi tanaman.
Masyarakat berupaya mencari solusi. Mereka membuat saluran kecil selebar satu setengah meter untuk menampung air, agar lumpur bisa mengendap sebelum digunakan. Namun usaha itu tak banyak membantu. Air tetap butuh waktu lama untuk kembali jernih, membuat pekerjaan tertunda berjam-jam.
Dalam kondisi ini, pengolahan sagu dan kegiatan berkebun tidak bisa lagi berjalan normal. Ketika situasi semakin parah, sekitar 25 Januari 2024, warga Maba Sangaji melakukan aksi protes di depan Kantor Bupati Halmahera Timur.
Warga mendesak pemerintah dan DPRD agar memperhatikan dampak aktivitas pertambangan nikel yang telah merusak Sungai Sangaji, sekaligus memasang baliho besar bertuliskan “Kali Sangaji adalah sumber kehidupan” di atas jembatan Sungai Sangaji.
Itu menjadi bentuk protes damai atas kerusakan lingkungan yang mereka alami. Kini, lebih dari separuh warga Maba Sangaji kehilangan akses terhadap air bersih.
Mereka harus membeli air galon untuk minum—sesuatu yang dulu dianggap mustahil di wilayah yang kaya sumber air alami. Rasa sedih dan marah bercampur. Karena bagi mereka, membeli air sama halnya dengan kehilangan harga diri sebagai petani dan pengolah sagu yang hidup berdampingan dengan alam.
Kerusakan semakin nyata ketika puluhan warga melakukan inspeksi ke lokasi tambang nikel PT Position di hutan adat mereka pada April 2025. Setelah menyusuri Sungai Sangaji puluhan kilometer menggunakan perahu, mereka menyaksikan sekitar 700 hektare hutan adat telah gundul di tengah aktivitas alat berat yang masif.
Perbukitan yang dulu hijau kini menjadi area terbuka tanpa vegetasi penyangga. Sedimentasi berat dari material ore nikel mencemari anak-anak sungai yang terhubung langsung ke Sungai Sangaji dan lahan kebun, membuat areal produktif itu tertutup lumpur merah.
Temuan Dinas Pertanahan dan Lingkungan Hidup (DPLH) Halmahera Timur memperkuat kekhawatiran warga. Hasil laboratorium menunjukkan penurunan signifikan kualitas air Sungai Sangaji, dengan lonjakan kadar Total Suspended Solids (TSS) dan E. coli.
Akibatnya, kelompok pengolah sagu, petani, dan nelayan kehilangan akses terhadap air bersih. Dampak berantai ini menyebabkan hilangnya mata pencaharian, potensi krisis pangan tradisional, dan guncangan ekonomi lokal akibat ekosistem yang hancur secara berkepanjangan. Kesaksian warga menggambarkan betapa drastis perubahan yang mereka alami.
“Rasanya seperti orang asing di kebun sendiri. Sungai Sangaji adalah sumber kehidupan kami, bukan sekadar air,” ungkap seorang petani.
Kini, para pengolah sagu memilih menghentikan produksi demi menjaga kesehatan konsumen.
“Kami tidak ingin makanan jadi racun, meski itu berarti keluarga kami lapar,” tegas Ramli.
Protes dan aksi kolektif warga menjadi bentuk perlawanan untuk merebut kembali tatanan hidup dan martabat komunitas yang tergerus oleh logika ekstraksi tambang.
Bagi masyarakat Maba Sangaji, kerusakan Sungai Sangaji bukan sekadar persoalan lingkungan, melainkan ancaman langsung terhadap keberlanjutan hidup.
“Sungai adalah rumah kami. Bila rusak, maka bukan cuma air yang hilang, tetapi seluruh sistem hidup, identitas, dan masa depan generasi kami ikut hancur.”
Kronologi Kriminalisasi Warga
PT Position adalah perusahaan pertambangan nikel yang dikuasai oleh PT Tanito Harum Nickel sebesar 51% dan Nickel International Capital Pte. Ltd. sebesar 49%. Wilayah operasi perusahaan ini di Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara, dengan dasar Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi No. 61/1/IUP/ PMA/2017, seluas 4.017 (empat ribu tujuh belas) hektare, berlaku sejak 12 Desember 2017 hingga 12 Desember 2037.
Adapun kantor pusat PT Position berlokasi di Gedung Deutsche Bank lantai 8, Jalan Imam Bonjol No. 80, Jakarta Pusat, sebagaimana tercantum dalam MODI ESDM.
Wilayah operasi PT Position sama sekali bukanlah tanah kosong, melainkan hutan adat yang sejak turun-temurun menjadi ruang hidup dan sumber penghidupan masyarakat adat Maba Sangaji.
Kehadiran perusahaan tambang nikel yang beroperasi di atas tanah adat tersebut justru menghadirkan rangkaian persoalan, mulai dari menyembunyikan informasi publik, perampasan ruang hidup, kerusakan daratan yang merupakan Hutan Adat Maba Sangaji, merusak dan mencemari anak Sungai Sangaji yang bermuara ke sungai induk hingga Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, termasuk hutan pala
yang menjadi sumber utama kehidupan warga.
Daftar kerusakan ini baru diketahui sekitar November hingga Desember 2024, melalui penelusuran jejak kehancuran di Hutan Adat Qimalaha Maba Sangaji yang langsung berdampak pada mata pencaharian warga.
Ironisnya, alih-alih memberi penjelasan, perusahaan justru datang mendadak ke desa untuk melakukan sosialisasi sekaligus perekrutan karyawan, yang sontak ditolak keras oleh masyarakat karena kerusakan yang nyata tak pernah dijelaskan.
Pada 2025, pasca penolakan, PT Position bahkan mengundang kepala desa dan sebagian kecil warga secara sembunyi-sembunyi, membicarakan “Program Tali Asih” sebagai kompensasi, dengan nilai yang ditentukan secara sepihak: Rp 2.500 per-meter, tanpa sedikit pun mengakui kerusakan masif terhadap hutan pala, kebun warga, dan sungai yang menjadi sumber pangan warga.
Daya rusak yang ditimbulkan bukan sekadar kehilangan lahan, tetapi penghancuran total ekosistem hutan pala, damar, gaharu, sagu, ikan sumasi, kerang ‘biya’, hingga udang sungai, serta merusak situs bersejarah Gua Manei yang bernilai kultural bagi masyarakat.
Akibatnya, pada 18 April 2025, warga melakukan protes terbuka di lokasi penambangan PT Position di kawasan Hutan Maba Sangaji. Warga menyampaikan keberatan atas aktivitas tambang yang telah menimbulkan kerusakan masif pada hutan adat, ekosistem, serta sumber kehidupan mereka.
Selain itu, warga juga meminta dipertemukan dengan pihak perusahaan dan meminta agar hadir ke kampung untuk memberikan penjelasan mengenai kerusakan Hutan Adat Qimalaha Maba Sangaji yang telah nyata dirasakan dampaknya.
Namun, niat itu tidak dapat terlaksana karena perwakilan perusahaan tidak berada di lokasi. Warga justru berhadapan dengan lima anggota polisi dan dua personel TNI bersenjata lengkap.
Dalam suasana itu, warga dengan tegas menyampaikan agar aktivitas tambang dihentikan sementara dan meminta perusahaan berdialog secara terbuka dengan seluruh masyarakat yang terdampak.
Sebagai bentuk komitmen atas penghentian sementara kegiatan, warga kemudian meminta kunci dari alat-alat berat yang dipakai dalam operasi tambang. Permintaan tersebut dipenuhi oleh pihak kontraktor yang menyerahkan kurang lebih 17 (tujuh belas) kunci alat berat.
Penyerahan itu disaksikan langsung oleh aparat kepolisian, TNI, serta petugas keamanan perusahaan.
Pada 15 Mei 2025, sebanyak 27 masyarakat Adat Maba Sangaji yang tergabung sebagai massa aksi menyampaikan protes. Mereka keberatan atas kerusakan hutan dan sungai serta melakukan ritual adat sebagai bentuk penegasan hak konstitusional mereka yang dijamin oleh Konstitusi UUD 1945.
Perjalanan panjang ditempuh dengan menyusuri Sungai Sangaji menggunakan empat perahu fiber, menuju kawasan hutan adat mereka yang telah diserobot PT Position. Dalam perjalanan sempat mendengar letusan tembakan misterius. Namun mereka tetap teguh melanjutkan perjalanan.
Pada 16 Mei 2025, Pukul 10.30 WIT, setelah menempuh jalur sungai, menginap semalam di hutan dan berjalan kaki hampir dua jam, mereka tiba di hutan sekitar lokasi tambang dan membangun tenda utama sebagai dapur umum.
Sambil menunggu waktu salat Jumat berlalu, mereka memasak dan beristirahat. Pukul 13.20 WIT, massa bergerak mendekati lokasi tambang PT Position. Di sana, terlihat sejumlah polisi, tentara, dan sekuriti perusahaan yang sudah berjaga.
Massa aksi mencoba mendirikan tenda dan memasang spanduk tuntutan, meski mereka diadang dua orang polisi dan tiga sekuriti. Di situ sempat terjadi adu argument hingga akhirnya tenda tetap dibangun dan pemasangan spanduk berisi sejumlah tuntutan. Sore harinya, sekitar pukul 16.00 WIT, massa mendapati aktivitas tambang masih terus berjalan.

Mereka segera bertindak, menemui pekerja dan sekuriti perusahaan, meminta agar operasi dihentikan terlebih dahulu sebelum masalah kerusakan Hutan Adat Qimalaha Maba Sangaji diselesaikan.
Hari berikutnya, suasana kian menegang. Warga menolak tawaran perusahaan untuk bertemu malam hari di kantor perusahaan. Sebaliknya, warga tetap memilih bertahan di lokasi untuk mendokumentasikan kerusakan.
Hingga pukul 01.00 WIT dini hari pada 18 Mei 2025, delapan mobil double cabin berisi aparat Brimob dan Reskrim bersenjata lengkap datang mengepung tenda aksi, disertai ancaman penangkapan.
Pagi harinya, warga tetap melanjutkan ritual adat Maba Sangaji dan membacakan pernyataan keberatan di hadapan perwakilan perusahaan.
Namun prosesi khidmat itu dirusak ketika aparat kepolisian, dipimpin Kapolres Halmahera Timur, menginterupsi secara kasar dan menjatuhkan bendera adat. Tindakan itu memicu bentrokan, pemukulan, penangkapan, dan pemaksaan kepada warga agar naik ke delapan mobil aparat untuk kemudian dibawa ke Sofifi, lalu ke Ternate.
Di Polda Maluku Utara, warga diinterogasi tanpa pendamping hukum, sebagian dipukul, dipaksa menandatangani dokumen, hingga menjalani tes urine berulang kali.
Pada 19 Mei 2025, 16 orang akhirnya dibebaskan, namun 11 warga lainnya ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal berlapis: Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang senjata tajam, Pasal 162 UU Minerba tentang menghalang-halangi aktivitas tambang, dan Pasal 368 KUHP tentang pemerasan.
Fakta ini menunjukkan kriminalisasi terang-terangan, di mana warga yang mempertahankan hutan dan kehidupannya, melakukan penyampaian pendapat di muka umum secara legal konstitusional justru diperlakukan layaknya penjahat, sementara perusahaan perusak hutan justru dilindungi negara.
Seteru Korporasi di Tengah Derita Warga
Kronologi Perseteruan
Perseteruan antara PT Position dan PT Wana Kencana Mineral (WKM) di Halmahera Timur bermula dari kerja sama antara PT Wana Kencana Sejati (WKS) dan PT Position pada awal tahun 2024. Kedua perusahaan diduga menyepakati untuk membangun jalan tambang (hauling) melintasi kawasan hutan yang dikuasai oleh WKS untuk kepentingan distribusi bijih nikel milik PT Position, dengan syarat jalan tak dilebarkan lebih dari 40 meter atau membuka jalan baru di luar kesepakatan.
Sebagaimana diketahui, PT WKS merupakan pemegang izin kehutanan berbasis izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam (IUPHHK-HA). Izin pertama keluar pada tahun 2005 oleh Menteri Kehutanan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.SK.95/Menhut-II/2005 tanggal 12 April 2005, untuk luas area sekitar 47.410 hektare.
Sementara izin untuk konsesi kedua diterbitkan pada tahun 2007 seluas 45.825 hektar dengan No.SK:295/Menhut-II/2007. Kedua konsesi tersebut terbentang di 31 desa di enam kecamatan, yakni Kecamatan Wasile Selatan,Wasile, Maba, hingga Kota Maba di Kabupaten Halmahera Timur, serta Weda Tengah dan Weda Utara di Halmahera Tengah.
Dalam pelaksanaannya, PT WKM menuduh PT Position melakukan pelanggaran berupa pembukaan jalan baru, pelebaran jalan melebihi batas izin, serta penggalian tanah hingga puluhan meter untuk pengambilan bijih nikel.
Lahan yang status izinnya berada di bawah PT WKS ini juga diklaim oleh PT WKM sebagai bagian dari konsesi tambang yang mereka miliki.
Menurut PT WKM, PT Position diduga membangun jalan tambang sepanjang sekitar 1,2 kilometer di kawasan Blok E yang mereka anggap sebagai wilayah IUP sendiri, dengan lebar jalan berkisar antara 30 hingga 50 meter dan kedalaman galian mencapai 10 hingga 15 meter.
Aktivitas pembukaan jalan itu diduga menjadi salah satu biang kerok pencemaran Sungai Sangaji, yang selama ini dimanfaatkan sebagai sumber penghidupan utama masyarakat.
Atas proses dan keluhan warga itu kemudian mendorong DPRD Halmahera Timur menggelar rapat dengar pendapat terkait pencemaran sungai Sangaji, dengan mengundang PT WKM pada 10 Februari 2025.
Setelah itu, sekitar 12 Februari 2025, PT WKM lantas memulai investigasi dan mengklaim jika telah terjadi bukaan lahan yang berpotensi mencemari lingkungan. Bukaan lahan tersebut, menurut WKM, merupakan sebuah jalan yang luasannya sekitar delapan hektar dan panjangnya sekitar 1,3 kilometer.
Menurut WKM, bukaan lahan tersebut tanpa sepengetahuan mereka dan bukan dilakukan oleh PT WKM. Setelah itu, WKM memasang patok batas sebagai langkah perlindungan wilayah sesuai IUP, sebagaimana yang diklaim sejak awal. Mereka lantas melaporkan PT Position ke Polda Maluku Utara. Polisi lalu turun ke lapangan dan memasang police line.
Namun, pihak PT Position membantah, lantas diduga melaporkan kelima polisi itu ke Propam Mabes Polri di Jakarta. PT Position mengklaim bahwa proses pemasangan police line itu melanggar kode etik saat sedang menyelidiki dugaan penyerobotan lahan tambang yang dilaporkan oleh PT WKM.
Menurut PT Position, ada dugaan kesalahan administrasi dalam penyelidikan, dimana surat penyelidikan yang diteken Komisaris Besar Asri—Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Maluku Utara—tidak sesuai dengan objek perkara.

Menurut pihak PT Position, empat anak buah Asri seharusnya memperlihatkan surat tugas penyelidikan terhadap PT Position sebagai pihak yang dilaporkan oleh PT WKM. Tapi, mereka malah menunjukkan surat penyelidikan untuk tempat kejadian perkara yang lain. Bahkan, sejumlah polisi ini dituduh memasang police line tanpa menggelar olah tempat kejadian perkara
terlebih dahulu.
Sidang etik atas mereka pun terjadi setelah adanya aduan itu ke Divisi Propam POLRI pada 24 April 2025. Asri—yang menjabat sebagai Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Maluku Utara sejak Januari 2025—kemudian terseret karena dianggap lalai mengawasi kerja anak buahnya. Asri dicopot pada 24 Juni 2025, lalu dimutasi menjadi perwira menengah Satuan Pelayanan Markas di Mabes
POLRI.
Adapun anak buah Asri, masing-masing Kepala Subdirektorat IV Komisaris Agus Siswanto, Kepala unit 1 Sub Direktorat IV Ajun Komisaris Iksan Prananto, serta dua penyidik berpangkat Brigadir Kepala, Ali M. Alkatiri dan Zulkifli juga dihukum penempatan khusus selama tiga hari.
Sebenarnya Komisaris Besar Asri saat menjabat, sudah menerbitkan surat perintah penghentian penyelidikan laporan PT WKM pada 22 April 2025, dengan alasan sengketa di Desa Loleba itu masuk ranah perdata.
Di tengah Asri dan anak buahnya menangani laporan PT WKM, PT Position diduga melaporkan dua karyawan PT WKM (Awwab Hafidz dan Marsel Bialembang) ke Direktorat Tindak Pidana Tertentu Badan Reserse Kriminal Polri atas dugaan tindak pidana di bidang kehutanan, dengan tuduhan memasang patok ilegal dan dianggap menghalangi kegiatan operasional penambangan, atau pembangunan infrastruktur milik PT Position di area yang masih disengketakan antara kedua perusahaan.
Dalam dakwaan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjerat Awwab Hafidz dan Marsel Bialembang dengan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Kini, sengketa antara PT Position dan PT Wana Kencana Mineral (WKM) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu terus bergulir. Sidang telah berlangsung lebih dari 12 kali, dengan fokus pada pemeriksaan saksi-saksi ahli dari bidang hukum pertambangan dan pidana.
Tim hukum dari kedua perusahaan yang terlibat dalam perkara ini terdiri dari nama-nama yang cukup dikenal di bidang litigasi bisnis dan pertambangan.
PT Wana Kencana Mineral (WKM) diwakili oleh tim kuasa hukum yang dipimpin oleh Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis, S.H., M.Hum., LL.M. (OC Kaligis).
OC Kaligis tercatat pernah menjadi kuasa hukum Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam sengketa Pemilihan Presiden 2024 di Mahkamah Konstitusi. OC Kaligis juga tercatat pernah menjadi kuasa hukum Soeharto pasca-lengser dari kursi presiden dalam Reformasi 1998.
Sementara, untuk pihak PT Position dikoordinasikan oleh Indra R. Maasawet, seorang advokat yang juga dikenal sebagai Associate di AHZT Law Firm & Legal Consultant yang berbasis di Surabaya.
Dugaan Pelanggaran oleh PT Position
Berdasarkan hasil observasi lapangan, studi dokumen izin, serta analisis pencitraan satelit dan pengaduan masyarakat, ditemukan sejumlah indikasi pelanggaran serius yang dilakukan oleh PT Position pada area konsesi nikel di Halmahera Timur.
Pelanggaran ini menyangkut dua aspek utama: aktivitas tambang di luar izin dan dampak signifikan terhadap lingkungan hidup. Pada 10 Februari 2025, warga Maba Sangaji melakukan protes pada pertemuan dengan DPRD Halmahera Timur di Kota Maba.
Warga menuding PT Wana Kencana Mineral (WKM) menjadi biang kerok pencemaran, mengingat konsesi WKM seluas 24.700 hektare memang beririsan dengan daerah aliran sungai yang selama ini dikonsumsi warga.
Namun, investigasi lanjutan pasca pertemuan dengan DPRD yang didukung oleh inspeksi drone serta citra satelit, justru menunjukkan pola pembukaan hutan yang masif oleh PT Position di luar area IUP, serta di atas kawasan hutan produksi terbatas tanpa izin resmi.
Data lapangan pada Februari 2025 juga memperlihatkan konstruksi jalan hauling yang membelah hutan dengan lebar bervariasi: semula 20 meter, kemudian membesar hingga 134 meter dalam setahun. Bukaan hutan tersebut mengandung nikel laterit dan berada di dalam konsesi PT WKM.
Selain itu, ditemukan penggalian material di kawasan hutan dengan titik koordinat yang tidak tercakup dalam izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH), sebagaimana ketentuan yang tertuang dalam SK Menteri LHK tentang PPKH untuk PT Position.
Investigasi tim Gakkum Kehutanan Seksi II Ambon pada April-Mei 2025 mengungkap adanya fakta pembukaan lahan dan pengambilan material tambang di luar PPKH. Jalan hauling yang dibangun PT Position juga melintas dan sebagian menyerobot wilayah IUP perusahaan lain (PT Wana Kencana Mineral, PT Weda Bay Nickel, PT Pahala Milik Abadi) dan areal perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) oleh PT Wana Kencana Sejati (WKS).
Berdasarkan dokumen memorandum of understanding (MoU) antara Position dan WKS, penggunaan fasilitas bersama tidak boleh melebihi lebar 40 meter serta dilarang membuka jalan baru.
Namun, pelaksanaan di lapangan memperlihatkan ketidakpatuhan: jalan yang dibangun melebar antara 30–50 meter dengan kedalaman hingga 15 meter.
Di luar pelanggaran administratif, Gakkum Kehutanan mendapati adanya pengambilan mineral nikel tanpa proses perizinan sah sebagaimana dipersyaratkan bagi pemanfaatan kawasan hutan.
Selain berkonflik dengan WKM, PT Position juga sempat dilaporkan oleh perusahaan tambang nikel PT Wana Halmahera Barat Permai (WHBP) lewat kuasa hukumnya, M. Mahfudz Abdullah, ke Bareskrim POLRI atas dugaan pemalsuan dokumen dengan nomor laporan LP/B/379/2024/SPKT/Bareskrim Polri, dengan tanda terima Nomor: STTL/3379/X2024/Bareskrim, 22 Oktober 2024.
Laporan tersebut juga menyeret nama Bupati Halmahera Timur (2005-2010), Welhelmus Tahalele, dan mantan Kepala Dinas Pertambangan Halmahera Timur, Nasrun Konoras.
PT Position diduga memalsukan Surat Keputusan (SK) Bupati Halmahera Timur, Nomor: 188.45/540-05/2010 tanggal 11 Januari 2010 tentang wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Position.
Berdasarkan dokumen yang dikantongi PT WHBP, luas wilayah IUP Position 4.047 hektare dengan 8 titik koordinat. Namun, dalam dokumen yang disampaikan ke Kementerian ESDM untuk kelengkapan syarat MODI berubah menjadi 68 titik koordinat.
Penambahan titik koordinat dalam SK Bupati tersebut membuat wilayah IUP WHPB seolah-olah berada dalam wilayah IUP Position. Sementara, wilayah IUP operasi produksi PT WHBP berdasarkan SK Gubernur Maluku Utara, Nomor: 502/2/ DPMPTSP/IUP-OP.LB/X/2020 tanggal 27 Oktober 2020 seluas 1.054,55 hektare.
Akibat dari dugaan pemalsuan dokumen tersebut, terjadi tumpang tindih wilayah antara IUP PT Position dengan IUP PT WHBP. Akibat lain, PT WHBP tidak bias dimasukkan dalam Minerba One Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM. Tapi saat ini status IUP, jajaran direksi, komisaris, hingga kepemilikan saham PT WHBP telah tercantum dalam MODI ESDM.
Keseluruhan temuan ini menunjukkan pola operasi yang melampaui batas izin administratif, berpotensi merugikan lingkungan, dan menimbulkan konflik kepemilikan serta pengelolaan wilayah antar korporasi.
Aspek tindak pidana kehutanan dan pelanggaran tata kelola sumber daya menjadi benang merah yang perlu dicermati lebih lanjut pada aspek penegakkan hukum dan tata kelola lingkungan.
Dugaan Pelanggaran oleh PT Wana Kencana Mineral
Konflik penggunaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah yang berpotensi tumpang tindih menjadi salah satu isu utama yang menyertai operasional PT Wana Kencana Mineral (WKM) di Halmahera Timur.
IUP PT WKM diterbitkan pada 8 Mei 2016 oleh Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba (2014-2023), dengan nomor 299/KPTS/MU/2016, berlaku hingga 8 Mei 2036. Konsesi perusahaan mencakup lahan seluas 24.700 hektare di Desa Ekor, Wasile Selatan, Halmahera Timur dan Desa Sagea, Weda Utara, Halmahera Tengah.
Kehadiran PT WKM di Wasile Selatan menggantikan PT Kemakmuran Inti Utama Tambang (KIUT) dan PT Kemakmuran Pertiwi Tambang (KPT). Aktivitas awal WKM berlangsung di wilayah administrasi Desa Loleba, Waijoi, dan Jikomoi, seluas 3,8 hektare dari 4 hektare lahan yang telah dibebaskan oleh KPT.
Namun, realisasi ganti rugi atas lahan kepada warga meleset dari kesepakatan, hingga memicu aksi pemalangan jalan hauling oleh masyarakat. WKM lalu melaporkan aksi tersebut ke polisi, yang diikuti pemeriksaan sejumlah warga oleh penyidik Polsek Wasile Selatan pada November 2022 dan Januari 2023.
Setahun kemudian, Ditreskrimsus Polda Maluku Utara melakukan gelar perkara dan menetapkan tujuh warga sebagai tersangka: Septon Djojong, Estepanus Djojong, Keng Kamariba, Lifas Gorango, Paulus Lasa, Rifo Bobala, dan Oskar Barera.
Mereka dipanggil dan diperiksa dalam proses hukum, bahkan beberapa di antaranya sempat mengajukan mekanisme restorative justice setelah perkara naik ke tahap P-21.
Belakangan, salah satu tokoh masyarakat, Septon Djojong, yang semula memimpin Tim 10 Desa Jikomoi-Waijoi, diangkat sebagai direktur PT Kalesang Indonesia Mining (KIM), menambah kompleksitas konflik kepentingan.
Di sisi lain, transisi dari KIUT/KPT ke WKM menyimpan masalah serius. PT WKM diduga melakukan penjualan 90.000 metrik ton ore nikel—yang merupakan barang sitaan pengadilan milik KPT—ke PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) pada akhir 2021, dan membuat Ditreskrimsus Polda Maluku Utara berencana melakukan gelar perkara.
Padahal, ore tersebut sejatinya harus dikelola oleh Pemerintah Halmahera Timur pasca pencabutan IUP KPT pada 2007 setelah diberi masukan dari gubernur dan DPRD.
Konflik antar perusahaan akhirnya berujung pada putusan Mahkamah Agung Nomor 16/G/2016/PTUN.ABN yang mengesahkan keabsahan IUP PT WKM secara hukum, tetapi sekaligus menunjukkan adanya tumpang tindih izin di kawasan tersebut.
Kejaksaan Tinggi Maluku Utara sempat memanggil Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Maluku Utara, Bambang Hermawan, pada Mei 2024 untuk penyelidikan dugaan korupsi dalam proses penerbitan IUP PT WKM dan sejumlah perusahaan nikel lain.
Selain konflik perizinan dan penegakan hukum, PT WKM juga bermasalah dalam memenuhi kewajiban reklamasi lingkungan.
Berdasarkan surat Gubernur Maluku Utara Nomor 340/5c./2018, perusahaan diwajibkan menyetorkan jaminan reklamasi sebesar Rp 13,4 miliar untuk periode 2018–2022. Namun hingga kini, WKM baru menyetor Rp 124 juta pada 2018, sehingga masih terdapat tunggakan sebesar Rp 13,276 miliar yang belum diselesaikan.
Pola Keterlibatan Aparat dan Pemerintah dalam Duel Perebutan Nikel
Perubahan administrasi tapal batas antara Desa Maba Sangaji dan Desa Wailukum di Halmahera Timur berlangsung di tengah hiruk-pikuk Pilkada 2020–2024, saat agenda politik lokal terjalin erat dengan kepentingan konsesi tambang.
Dalam momentum tersebut, Moronopo—wilayah adat yang belakangan dialihfungsikan jadi areal operasi PT Nusa Karya Arindo (NKA), anak perusahaan PT ANTAM.
Padahal, Moronopo dan sekitarnya bukan hanya ruang adat, melainkan juga kawasan penting bagi keberlangsungan hidup warga Maba dan Teluk Buli. Di teluk ini, ikan bertelur—menjadikannya zona pemijahan alami yang vital bagi ekosistem perikanan lokal. Para nelayan dari kedua wilayah memanfaatkan kawasan ini untuk menangkap ikan, menambatkan perahu, maupun sebagai tempat transit aktivitas melaut.

Dampak serupa juga terjadi dalam kasus PT Position yang mengokupasi wilayah adat warga Maba Sangaji dan Wailukum di Kecamatan Kota Maba, Halmahera Timur.
Seorang warga Maba Sangaji, AL, menjelaskan bahwa wilayah administratif Desa Wailukum sejatinya tidak memiliki kawasan hutan dan hanya terbatas di sekitar Gunung Kaplo.
Analisis dokumen penetapan tapal batas tahun 2008 memperkuat klaim warga, di mana lahan yang saat ini dikuasai PT Position dan NKA secara geografis lebih dekat ke Maba Sangaji.
Namun, muncul dokumen baru—tanpa sosialisasi dan persetujuan komunitas adat—yang menggeser sempadan ke utara menuju area konsesi tambang, langsung memantik konflik otoritas dan hak ulayat.
Menurut keterangan warga, Kepala Desa Maba Sangaji (Kasman Mahmud), anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Safardifa, serta Moh. Kandung (Sekretaris Komisi III DPRD Halmahera Timur) diduga menjadi motor perubahan tapal batas, bersama Penjabat Kepala Desa Wailukum, Raidi Karjang.
Pada berita acara 22 Juli 2020 di Kantor Bupati, penetapan batas desa dilakukan tanpa sosialisasi dan partisipasi masyarakat adat, dengan melibatkan pejabat daerah, kepolisian sektor, hingga lembaga adat setempat.
Raidi Karjang, dalam kapasitas sebagai Pj. Kepala Desa Wailukum juga ikut bersepakat perubahan tapal batas antara Desa Maba Sangaji dan Desa Wailukum.
Tak berhenti di Raidi Karjang, Pj. Kepala Desa Wailukum yang baru, Azwan Sinen bersama Alfentein Rongasala (Ketua BPD Wailukum), Syukur Wangelamo, Raidi Karjang dan Karim Umar yang ditengarai secara diam-diam menerbitkan surat bernomor 140.01/136/DW/Kec.KM/HT/V/2025 pada 18 Mei 2025, salah satu isinya menuduh aksi yang dilakukan warga Maba Sangaji dilakukan secara sepihak, tanpa koordinasi.
Sementara Moh. Kandung, Sekretaris Komisi III DPRD Halmahera Timur dari Partai Gelora, juga secara terbuka mendukung keberadaan dan program yang ditawarkan PT Position. Ia juga diduga terlibat dalam penyerahan dana tali asih dari PT Position kepada sejumlah warga Maba Sangaji.
Seluruh proses perubahan tapal batas antara kedua desa tersebut tak diketahui oleh mayoritas masyarakat adat Maba Sangaji dan warga tetap menganggap penetapan tahun 2008 sebagai keputusan final.
Protes dari tokoh adat seperti Qimalaha Maba Sangaji (Taib Muhammad) sempat terjadi, karena perubahan dokumen administratif dianggap melecehkan hak masyarakat adat.
Perubahan tapal batas inilah yang kemudian dijadikan dalih oleh pihak perusahaan dan sejumlah unsur pemerintahan dalam sidang kriminalisasi terhadap warga Maba Sangaji. Mereka menyatakan, lokasi aksi protes warga bukan berada di hutan adat Maba Sangaji, melainkan di wilayah Desa Wailukum.
Menanggapi tudingan dalam pemberitaan sejumlah media, Kepala Desa Maba Sangaji, Kasman Mahmud, secara tegas membantah dan menyebut bahwa warga yang menggelar aksi protes PT Position tidak tercatat sebagai warga Maba Sangaji.
Ia menilai informasi tersebut sebagai kebohongan besar dan sebagai upaya menyeret nama desa Maba Sangaji ke dalam pusaran konflik antarperusahaan.
Indikasi keterlibatan langsung PT Position dalam proses perluasan administratif Desa Wailukum didasarkan pada fakta-fakta hubungan antara perusahaan dengan jaringan pemenang Pilkada, birokrasi desa, dan organisasi kepemudaan.
Nama Edi Septiagus Rajab—Kabid Pemerintahan Desa di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Halmahera Timur, Ketua KNPI Halmahera Timur—yang punya hubungan kekerabatan (ipar) dengan Kepala Desa Maba Sangaji, Kasman Mahmud, diduga muncul sebagai penghubung utama.
Adapun Mukdir Lakoda, Anggota BPD sekaligus juru bicara Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Halmahera Timur dan Humas Eksternal PT Position, diduga menjadi figur sentral penghubung aspirasi
warga, perusahaan, dan akses ke birokrasi.

Jalur-jalur dana tali asih (ganti rugi sepihak) perusahaan terhadap aparatur desa dan elite lokal memperlihatkan bagaimana agenda perusahaan didorong dan diverifikasi oleh birokrasi, bukan mekanisme partisipasi rakyat.
Warga mencatat, aparat desa tertentu merangkap humas perusahaan, sehingga ruang dialog masyarakat dengan pemerintah lokal otomatis dikunci oleh kepentingan tambang.
Situasi seperti ini menutup peluang penyelesaian damai atas konflik administratif dan ekspansi konsesi di atas tanah adat. Ketika saluran formal tersumbat, resistensi masyarakat pun menguat. Namun bentuk perlawanan yang ditempuh—termasuk aksi protes damai dengan ritual adat ke hutan pada 18 Mei 2025—malah dijawab dengan tindakan represif dari aparat keamanan.
Operasi penangkapan massal dan kriminalisasi menjadi instrumen kunci untuk memberangus pembelaan social maupun ekologis.
“Kami hanya ingin tanah kami tidak diambil tambang, sungai tidak dicemari, hutan tetap untuk anak cucu,” ungkap salah satu warga korban kriminalisasi dalam aksi tersebut.
Sebanyak 27 warga akhirnya ditangkap, dan 11 diantaranya didakwa menghalangi aktivitas pertambangan. Proses interogasi berjalan tanpa pendampingan hukum yang layak, bahkan disertai kekerasan fisik, pemaksaan tanda tangan, hingga tes urine sepihak tanpa prosedur sah.
Ketika perkara sampai ke pengadilan, eksistensi tanah adat tidak pernah diakui sebagai dasar pertimbangan hukum; keputusan pengadilan hanya bersandar pada IUP perusahaan yang terbit pada 2017, sepenuhnya mengesampingkan hak asal-usul, sejarah, dan kedaulatan masyarakat adat di atas ruang hidup mereka sendiri.
Jejaring Aktor di Balik Seteru PT Position, PT Wana Kencana Mineral, & PT Wana Kencana Sejati
PT Position
PT Position adalah perusahaan pertambangan nikel yang beroperasi di Halmahera Timur, Maluku Utara. Sejak tahun 2024, perseroan ini secara strategis berada di bawah kontrol PT Tanito Harum Nickel (THN)—anak usaha Harum Energy Tbk.
Kepemilikan saham PT Position didominasi oleh Tanito Harum Nickel sebesar 51%, sedangkan sisanya (49%) dikuasai Nickel International Capital Pte. Ltd. dari Singapura, yang keseluruhan struktur bisnisnya bermuara ke Harum Energy sebagai holding grup.
Dengan struktur ini, segala kebijakan, ekspansi, pengelolaan izin pertambangan, termasuk penanganan konflik lahan, seluruhnya terpusat pada jaringan bisnis keluarga Barki.
Jaringan usaha THN tidak hanya meliputi PT Position, tetapi juga mencakup beberapa perusahaan lain yang bergerak di sektor nikel dan pengolahan mineral, yakni PT Infei Metal Industry (IMI), PT Westrong Metal Industry (WMI), PT Blue Sparking Energy (BSE), dan PT Harum Nickel Perkasa (HNP).
Sebagian besar operasi mereka terkonsentrasi di Kawasan Industri Weda Bay, Halmahera Tengah, dengan proyek unggulan BSE yang sedang membangun fasilitas High-Pressure Acid Leaching (HPAL).
Fasilitas ini dirancang untuk menghasilkan produk nickel-cobalt hydroxide (MHP) dengan kapasitas 67.000 ton setara nikel per tahun, menjadikannya salah satu proyek terbesar dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik Indonesia.
Sementara itu, Harum Energy sebagai induk grup adalah konglomerasi pertambangan yang sangat besar dan berpengaruh. Mereka mengelola tambang batubara utama di Kalimantan Timur dan Tengah lewat PT Mahakam Sumber Jaya, PT Santan Batubara, PT Bumi Karunia Pertiwi, PT Karya Usaha Pertiwi, dan juga perusahaan logistik serta pelayaran seperti PT Layar Lintas Jaya dan PT Lotus Coalindo Marine.
Dalam beberapa tahun terakhir, Harum Energy menggeser pusat perhatian bisnisnya ke arah nikel, dengan membangun dan mengakuisisi anak usaha di sektor smelter, pengolahan, dan hilirisasi nikel di kawasan industri Weda Bay, Maluku Utara, serta mengadakan kemitraan dengan perusahaan internasional seperti Eternal Tsingshan Group Limited dari China.
Di jajaran pengurus dan pengambil keputusan, jejak figur-figur kunci sangat kompak: Lawrence Barki yang menjabat sebagai Komisaris di PT Position, merupakan generasi penerus keluarga Barki.
Ia juga menjadi Presiden Komisaris Harum Energy serta memegang banyak jabatan strategis di hampir seluruh anak perusahaan batubara maupun nikel—mulai dari Karunia Bara Perkasa, Tanito Harum Nickel, Santan Batubara, Lotus Coalindo Marine, sampai entitas logistik internasional.
Selain dari keluarga Barki, ada juga nama Stephanus Eka Dasawarsa Sutantio sebagai Direktur Utama PT Position. Ia bukan sekadar eksekutif lapangan—Stephanus juga tercatat pernah menjabat sebagai direktur di perusahaan offshore IMC Plantations Holdings LTD, yang terdaftar di Bermuda dan masuk ke dalam bocoran Paradise Papers, sebuah dokumen internasional yang mengungkap jejaring perusahaan offshore di berbagai negara.
Berdasarkan data resmi International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), ia menjabat sebagai direktur di IMC Plantations Holdings LTD pada periode 5 Januari 2010 hingga 1 November 2010.

Dalam perjalanan kariernya, Stephanus Eka juga pernah diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus mega korupsi BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).
Pemeriksaan tersebut dilakukan dalam kapasitasnya sebagai mantan pejabat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), tepatnya Plt. Deputi BPPN Bidang Asset Management Investment (AMI).
Jejak jabatan dan keterlibatan dalam struktur offshore ini menempatkan Stephanus Eka sebagai salah satu figur kunci penting di dunia bisnis pertambangan, yang juga kerap disorot dalam isu tata kelola dan integritas sektor sumber daya alam di Indonesia.
Ada juga nama Haryadi yang menjabat sebagai Direktur di PT Position. Hariyadi adalah profesional pertambangan Indonesia yang juga menjabat sebagai Direktur Harum Energy, berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan 27 Mei 2025.
Jejak kariernya dimulai sejak 1988 di PT Kaltim Prima Coal, perusahaan keluarga Bakrie, sebagai Junior Mining Engineer dan kemudian naik menjadi superintendent. Pada 1993, ia bergabung dalam manajemen perusahaan-perusahaan di bawah Tanito Group—induk Harum Energy yang mengoperasikan sejumlah konsesi tambang batubara utama di Kalimantan Timur dan Tengah.
Di grup Harum, Hariyadi dikenal sebagai ahli teknis yang terlibat langsung dalam pengelolaan tambang dan pengembangan proyek batubara maupun nikel. Ia juga menjadi Wakil Ketua Bidang Teknologi Batubara Bersih dan Hilirisasi pada Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA) untuk masa jabatan 2024–2029.
Ada juga figur berpengaruh lainnya seperti Yun Mulyana yang menjabat sebagai Komisaris Harum Energi. Yun masuk ke dalam struktur berdasarkan Keputusan RUPS Tahunan pada 25 Agustus 2020 (2020-2025).
Sebagaimana diketahui, Yun datang dari latar belakang Kepolisian dengan jejak karier yang mentereng, mulai dari Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (2001-2002), Inspektur Jenderal Kepolisian Republik Indonesia (2000 – 2001) dan Kapolda Jawa Barat (1999 – 2000).
Selain itu, figur kunci lainnya adalah Kenneth Scott Andrew Thompson, seorang profesional berkebangsaan Inggris yang saat ini menjabat sebagai Komisaris di PT Position.
Scott Thompson juga tercatat sebagai Direktur di PT Harum Energy Tbk, berdasarkan keputusan RUPS tanggal 25 Agustus 2020 dan diperbarui hingga periode 2025–2030. Scott Thompson pernah memegang posisi penting di Anglo American Corporation (Afrika Selatan), PT Adaro Indonesia milik keluarga Thohir,
dan Marston & Marston di Australia dan Amerika Serikat.
Figur lainnya yang menonjol adalah Cao Zhiqiang yang memegang posisi sebagai direktur di PT Position. Ia berasal dari jaringan investasi Tiongkok dan merupakan representasi pengaruh asing di dalam struktur perusahaan nikel grup Harum.
Ia dikenal aktif dalam kerjasama pengembangan smelter serta strategi investasi di kawasan industri Weda Bay, Maluku Utara.
Peran Zhiqiang dalam dewan direksi PT Position memperkuat relasi bisnis Harum Energy dengan mitra dan pemegang saham asal China, terutama melalui kemitraan dengan Nickel International Capital Pte. Ltd. (Singapore) dan jaringan Tsingshan Group—konglomerasi tambang skala global yang berperan penting pada investasi dan pengelolaan proyek hilirisasi nikel nasional.
Selain itu, ada juga He Xiaozhen yang memegang posisi sebagai Komisaris PT Position yang juga mewakili kepentingan jaringan modal dan ekspansi korporasi Tiongkok di Indonesia. Dalam struktur PT Position, He Xiaozhen menjadi penghubung mitra strategis Tiongkok di level komisaris, memastikan alur komunikasi dan pengawasan holding serta proyek investasi berjalan sesuai kepentingan grup internasional.
Jejak Xiaozhen sejalan dengan investasi masif modal asing di smelter, logistik, hingga teknologi pemrosesan nikel—menggambarkan model keterlibatan langsung aktor Tiongkok dalam tata kelola sektor pertambangan strategis Indonesia, khususnya melalui Harum Energy dan afiliasinya.

PT Wana Kencana Mineral
PT Wana Kencana Mineral (WKM) adalah perusahaan nasional tambang nikel dengan izin usaha pertambangan (IUP) Operasi Produksi seluas 24.700 hektar yang tersebar di Kecamatan Wasile, Wasile Selatan, hingga Kota Maba di Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara.
Perusahaan ini beralamat kantor pusat di Jl. Imam Bonjol No. 72, Jakarta Pusat, dan mempekerjakan sekitar 50–200 karyawan. Berdasarkan catatan SGPGrid dan Companies House Indonesia, WKM terdaftar sebagai perseroan terbatas (PT) yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan bergerak di sektor pertambangan logam dasar, khususnya bijih nikel.
Struktur kepemilikan saham PT WKM, antara lain PT Baja Selatan Lintas Nusantara sebanyak 40%, PT Sejahtera Jaya Prima 25%, dan Huacai (Hongkong Limited) sebesar 35%.
PT Baja Selatan Lintas Nusantara juga merupakan perusahaan tambang nikel yang sahamnya dimiliki oleh Eddy Winata sebanyak 99,86% dan sisanya milik Henry Winata Karim. Adapun PT Sejahtera Jaya Prima sahamnya masing-masing dimiliki Wahid Ngadimin (4%) sekaligus direktur, PT Karunia Indah Semesta Energi 48%, Raj Prem Bhojwani (8%) sekaligus Komisaris, dan PT Bintang Sukses Grup sebesar 40%. PT Bintang Sukses Grup adalah PT Bintang Sukses Grup adalah perusahaan swasta
nasional yang beralamat di Gold Coast Office Tower Liberty Lt. 22 KL, Pantai Indah Kapuk, Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, Kabupaten/Kota Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta. Saham perusahaan ini dimiliki oleh Fransisca dan Paulo Lay, masing-masing lima puluh persen.
Adapun struktur pengurus PT WKM mengindikasikan afiliasi erat antara bisnis nikel, jaringan modal nasional-internasional, serta figur berpengaruh dari kalangan militer, politik, dan pebisnis papan atas.
Agum Gumelar, misalnya, tercatat sebagai Komisaris Utama di PT WKM. Agum merupakan tokoh militer senior dan purnawirawan jenderal TNI yang dikenal luas di pemerintahan serta dunia olahraga nasional Indonesia. Ia pernah menjadi Komandan Jenderal Kopassus, Gubernur Lemhannas, Menteri di dua kabinet, serta Ketua Umum PSSI dan KONI.
Per 2025, Agum masih aktif sebagai Ketua IKAL Lemhannas dan bagian dari Majelis Wali Amanat UPI, sekaligus menjadi pembina Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran.
Ada juga Letjen (Purn) Eko Wiratmoko selaku Direktur Utama di PT WKM yang memiliki pengalaman panjang di perangkat elite AD, termasuk Kopassus, Danpusintelad, dan sebagai Pangdam di beberapa wilayah strategis.
Selain karier militer, Eko sempat menjadi Koordinator Bidang Polhukam DPP Golkar, memperlihatkan jejaring politik yang kuat di balik aktivitas korporasi.
Chen Yibo dan Du Shangmeng adalah eksekutif yang berperan membawa modal investasi Tiongkok ke tubuh WKM, didukung oleh kehadiran Huacai (Hongkong Limited) sebagai pemegang saham signifikan. Ini mempertegas keterlibatan jaringan modal asing dalam bisnis pertambangan nikel nasional.
Eddy Winata, komisaris di WKM, adalah nama yang kerap dikaitkan dengan perusahaan offshore dan praktik penghindaran pajak internasional. Ia tercatat sebagai pengendali pada sejumlah perusahaan di British Virgin Island menurut investigasi Offshore Leaks, sehingga mengundang sorotan terkait aspek transparansi dan tata kelola perusahaan.
Selain di WKM, Eddy juga tercatat sebagai komisaris PT Wana Halmahera Barat Permai, perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Halmahera Timur. Selain menjadi komisaris, Eddy juga diketahui berkerabat dengan Tommy Winata dan Wahid Ngadimin, salah satu pemegang saham di PT Sejahtera Jaya Prima.
Lusyani Suwandi, salah satu direktur di WKM, adalah figur politisi perempuan aktif di Partai NasDem dan pernah menjadi caleg DPR RI. Selain kiprah politik, ia mempunyai rekam jejak sebagai pebisnis serta pelatih kewirausahaan bagi perempuan—menandai kombinasi pengaruh politik dan ekonomi yang memperkaya latar belakang direksi.
Lusyani juga tercatat sebagai pemilik saham sekaligus sebagai direktur di PT Hamera Sarana Indonesia, perusahaan yang mengendalikan Hamera Laboratorium di Cilincing, Jakarta Utara.

Terdapat juga nama Henry Winata Karim yang tercatat memegang posisi direktur di WKM, dengan interaksi erat antara eksekutif nasional dan pemilik modal dari jaringan pertambangan lain di Indonesia.
Yory Jayady Radjak, sebagai direktur, berafiliasi dengan Huayou Cobalt Co., Ltd—perusahaan raksasa Tiongkok di sektor energi baru terbarukan (EBT).
Perannya sebagai director commercial di Huayou dan representasi investasi besar industri baterai kendaraan listrik di Indonesia, menegaskan keterhubungan WKM dengan modal dan ekspansi industri internasional.
Harun Ngadimin, saudara kembar Wahid Ngadimin, meski di dokumen AHU Ditjen Kemenkumham namanya sudah tak lagi tercantum, namun dalam dokumen MODI ESDM, Harun masih tercatat sebagai direktur WKM.
Susunan pengurus PT WKM yang demikian majemuk membuktikan bahwa perusahaan ini tidak hanya menjadi ajang bisnis berbasis sumber daya alam, melainkan juga locus pertemuan kepentingan militer, politisi, pebisnis domestik, dan jaringan modal asing dalam pengelolaan kekayaan alam di Indonesia.
PT Wana Kencana Sejati
PT Wana Kencana Sejati (WKS)—yang menjalin kerja sama dengan PT Position— merupakan perusahaan pemegang izin pengelolaan hutan produksi di Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara.
PT WKS memiliki dua konsesi yang diterbitkan Kementerian Kehutanan sejak tahun 2005 dan 2007, dengan total luas mencapai sekitar 93.235 hektare.42
Dalam operasinya, PT WKS tercatat masuk ke kawasan hutan sebagai ruang hidup komunitas suku O’Hongana Manyawa. Upaya pencaplokan itu mendapat pengadangan dari orang-orang Tobelo Dalam di sungai Ake Sangaji, Desa Waijoi, Kecamatan Wasile Selatan, Halmahera Timur pada 26 Oktober 2024 lalu.
Para pengurus dan pemegang saham PT WKS, antara lain Ade Wirawan Lohisto (biasa dikenal Acong) sebagai Direktur dan pemegang saham sebesar 30%.
Lalu ada Rusli Lohisto sebagai Direktur Utama sekaligus pemegang saham sebesar 70%. Selain dua nama utama itu, struktur kepengurusan PT WKS juga memuat nama Setiawan Lohisto, Yetty Susilowati, dan Yacob Sopamena sebagai Direktur, serta Sie Tjioe Jin sebagai Komisaris.
Namun, komposisi saham dominan mutlak dikuasai oleh kelompok keluarga Lohisto, dengan Rusli Lohisto sebagai pemegang saham pengendali.

Ade Wirawan Lohisto alias Acong pernah terseret dalam kasus korupsi yang melibatkan Gubernur Maluku Utara, Abdul Gani Kasuba (AGK) periode (2014-2023) pada tahun 2023.
Acong—dalam kapasitasnya sebagai Direktur Halmahera Sukses Mineral— disinyalir memiliki peran signifikan sebagai salah satu pemberi suap kepada AGK, dalam kasus korupsi izin tambang yang menyeret banyak tokoh dan perusahaan tambang di Maluku Utara.
Dalam catatan sidang dan hasil pemeriksaan, Acong disinyalir masuk dalam daftar pemberi suap—menyalurkan sejumlah dana ke AGK lewat beberapa rekening perantara.
Total dana yang diduga diberikan mencapai lebih dari Rp 2 miliar, sebagai bagian dari praktik gratifikasi untuk memuluskan perizinan, pengurusan IUP, dan jaminan kelancaran investasi tambang PT HSM serta jaringan perusahaan tempat Acong berperan sebagai pengelola.
Bukti transfer dan alat bukti lain telah diperlihatkan dalam persidangan, sekaligus menegaskan posisi Ade Wirawan alias Acong tidak hanya sebagai pengusaha, tetapi juga aktor penting dalam jaringan “suap perizinan” tambang yang menjadi perhatian KPK dalam kasus AGK.
Nikelnya Dikeruk, Warganya Dipenjara
Perebutan nikel di Halmahera Timur bukan sekadar persaingan dua korporasi besar, tetapi benturan kepentingan antara jaringan modal nasional, asing, elite politik, dan kekuatan militer—semua terjalin rapat di simpul PT Position serta PT Wana Kencana Mineral (WKM), dengan bayang-bayang PT Wana Kencana Sejati (WKS) sebagai pemilik konsesi hutan dan koridor utama.
Penegakan hukum gagal melindungi hak warga, transparansi perizinan hanyalah formalitas, audit dan pengawasan tunduk pada lobi-lobi di level pusat, sementara negara absen menjaga ruang hidup masyarakat. Dalam sengketa ini, hukum menjadi alat bagi kekuasaan modal, bukan penjamin keadilan ataupun pelindung rakyat dan alam.

Fenomena ini menandai kegagalan tata kelola pertambangan mineral strategis di Indonesia—bahwa reformasi hukum dan kebijakan tak pernah menyentuh akar masalah ketika elite patronase mengatur poros persaingan tambang.
Di bawah bayang-bayang investasi, konflik lahan, dan perluasan industri nikel, suara dan hak rakyat tetap dikalahkan oleh jejaring aktor kuat yang menguasai simpul pengambilan keputusan.
Sengketa PT Position versus PT Wana Kencana Mineral adalah peringatan bahwa tanpa perubahan sistem dan penegakan hukum yang independen, Indonesia akan terus menjadi ladang konsesi bagi segelintir oligarki, meninggalkan generasi berikutnya dengan tumpukan luka sosial-ekologi dan keadilan yang mati di atas mineral strategis nasional.
Konflik tumpang tindih izin, administrasi tapal batas tanpa konsultasi adat, serta intervensi politik dan aparat semakin menambah lapisan kejanggalan tata kelola dan perlindungan hak ulayat. Institusi kepolisian yang seyogyanya menjadi garda penegak hukum justru terlibat dalam rangkaian pelanggaran prosedur dan dugaan obstruction of justice.
Sejumlah pejabat Polda Maluku Utara terkena sanksi etik—demosi dan penempatan khusus— karena menyimpang dari prosedur investigasi dan perlakuan barang bukti.
Beberapa aksi pengamanan dan penanganan perkara berlangsung tanpa olah TKP, koordinasi antar lembaga, bahkan penghentian penyidikan atas laporan warga yang dinilai tidak sesuai.
Lebih dari itu, dalam proses pengadilan, barang bukti video tambang illegal dan laporan masyarakat tidak dihadirkan secara transparan oleh penyidik dan jaksa, memperkuat dugaan permainan dan perlindungan kepentingan korporasi.
Puncak pelanggaran hukum dan kekerasan terhadap warga adat Maba Sangaji terang benderang dalam putusan Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan. Detik detik aparat TNI/Polri menangkap warga Maba Sangaji, di kawasan hutan adat yang diklaim PT Position.
Sebelas warga divonis bersalah “menghalangi aktivitas pertambangan PT Position” berdasarkan Pasal 162 UU Minerba.
Dari sebelas orang itu, masing-masing divonis lima bulan delapan hari, dan tiga orang di antaranya dijatuhi hukuman tambahan dua bulan, atau tujuh bulan delapan hari.
Vonis hakim Pengadilan Negeri Soasio Tidore itu dianggap sebagai buah kriminalisasi dan pembungkaman, sebab warga hanya memperjuangkan tanah leluhur serta menolak eksploitasi dan kerusakan lingkungan.
Majelis hakim, di bawah kepemimpinan Asma Fandun, dalam berkas 99/Pid.Sus/2025/PN Sos hingga 108/Pid.Sus/2025/PN Sos, tidak mengakui status warga sebagai pembela
hak lingkungan—bahkan memerintahkan pemusnahan barang bukti alat aksi warga seperti parang, bendera, terpal, dan spanduk bertuliskan “Tanah adat bukan tanah negara, tambang harus tumbang”.
Kriminalisasi warga adat melalui vonis hakim serta konstruksi narasi hukum oleh aparat menjadi penanda bahwa skema operasi kekuasaan telah berpindah ke ruang persidangan. Hakim—bersama aktor korporasi dan aparat—diduga menjadi bagian integral dari sistem pembungkaman dan perlindungan kepentingan modal.
Vonis penjara lima bulan delapan hari tidak sekadar hukuman administratif, namun instrumen represi dan penghapusan hak warga atas tanah, air, dan masa depan.
Dari hulu ke hilir, skema kekerasan legal melalui pelanggaran korporasi, manipulasi aparat, dan rancang bangun putusan hakim mencerminkan kegagalan fundamental negara dalam menegakkan keadilan ekologis dan hak asasi.
Negara—lewat perangkat hukum dan kekuasaan—lebih memilih mengamankan investasi dan industri ekstraktif, ketimbang melindungi rakyatnya dari ancaman krisis lingkungan dan hilangnya ruang hidup.
Kasus Maba Sangaji adalah potret telanjang kolusi kepentingan modal dan negara di sektor nikel: rakyat dibungkam, hukum dikhianati, dan masa depan lingkungan dikorbankan atas nama pembangunan.***
(Laporan ini disusun oleh JATAM bersama Simpul JATAM Maluku Utara)
Proses penyusunan laporan investigasi ini melibatkan tim peneliti lintas wilayah dan narasumber dari warga terdampak di Halmahera.

Tinggalkan Balasan