Oleh: Sugianto Mangoda
(Pengurus PW Pemuda Muhammadiyah Maluku Utara)

Kurang lebih dua minggu, saya berkeliling di Sofifi. Mulai turun dari speedboat Sofifi kemudian menuju ke tugu bundaran Sofifi. Dari titik ini, jalan terbagi empat arah. Perempatan. Arah timur, barat, utara, dan selatan. Bundarannya lumayan lebar. Mirip bundaran HI Jakarta.

Bagi penulis, ada beberapa hal yang terlihat diabaikan. Entah pemerintah provinsi atau kota Tidore Kepulauan. Entah ketidakmampuan memahami masalah yang dihadapi. Atau karena ketidakjelasan status wilayah antara keduanya.

Masalah kebersihan kota Sofifi. Di pelabuhan speedboat Sofifi, terlihat sampah cukup padat. Sampah di bawah pelabuhan apung dan sekitarnya.

Mulai dari pintu masuk pelabuhan speedboat, area terminal hingga ke bundaran Sofifi tidak terlihat tong-tong sampah. Sepanjang tepi jalan, sampah-sampah berserakan berupa botol plastik air mineral, kantong plastik, plastik gelas air, dll.

Kawasan ruang terbuka hijau (RTH) sekitar bundaran yang menjadi tempat kuliner juga sampah berserakan berupa botol-botol plastik air mineral maupun tumpukan sampah pedagang kuliner setempat. Padahal, di tempat ini sangat nyaman. Areanya lumayan luas. Pepohonan rimbun nan hijau. Angin sepoi-sepoi sambil menikmati kelapa muda dan pisang goreng.

Bisa juga jadi ruang pertemuan sesama kerabat dan teman. Ruang diskusi dan dialog.

Tugu bundaran Sofifi terlihat seperti bangunan tua, padahal bisa dipoles. Dipercantik. Misalnya dibuat air mancur, dipasang lampu-lampu hias agar mencerminkan wajah ibu kota yang sebenarnya. Hal serupa terlihat di tugu pemekaran 99. Sama sekali tidak terurus.

Lebih parah lagi kondisi sepanjang tepi jalan kelurahan Galala. Jalan berlubang karena rusak, debu saat panas, dan becek saat hujan. Sampah plastik sepanjang jalan Galala berhamburan. Tidak ada tong sampah.

Di lain sisi, infrastruktur dasar ibu kota seperti badan jalannya cukup lebar. Dua arah pula. Di tengahnya ada median jalan. Trotoar yang lebar. Dan pepohonan rindang nan hijau sepanjang trotoar, yang merupakan bekas tangan kedua gubernur terdahulu yakni Drs. Thaib Armayn dan KH. Abdul Gani Kasuba. Keduanya 20 tahun menjabat gubernur. Masing-masing dua periode. Namun nyaris tidak membentuk wajah ibu kota.

Selanjutnya, warga menanti apa langkah terobosan gubernur baru. Gubernur cerdas. Gubernur pertama perempuan di Maluku Utara, yang kelak meninggalkan jejak pembangunan setelah menjabat gubernur jika benar-benar memerhatikan ibu kota, cermin wajah Maluku Utara ke depan.