Ghazali Faraman
(Mahasiswa Fakultas Hukum Unkhair)
Pemandangan jalanan di Kecamatan Oba dan Oba Selatan yang lebih mirip “kubangan kerbau” bukanlah sekadar isu infrastruktur. Ini adalah monumen kegagalan pemerintah, sebuah etalase dari malapraktik perencanaan dan arogansi kekuasaan yang membentang lebih dari satu dekade.
Aspirasi masyarakat sejak 2010 hanya dianggap angin lalu, sementara proyek tambal sulam yang menelan anggaran terus diproduksi tanpa hasil yang bertahan lama. Aksi warga yang sampai “mandi lumpur”, sebagai bentuk protes adalah tamparan keras yang menunjukkan betapa absurnya kondisi ini di tengah jargon pembangunan yang didengungkan.
Data kajian teknis yang ada bukan lagi sekadar keluhan, melainkan sebuah dakwaan telak. Mari kita bedah fakta di lapangan:
- Kondisi Tanah Kritis yang Diabaikan: Hasil uji Dynamic Cone Penetrometer (DCP) yang menunjukkan nilai kekerasan tanah hanya 1,2% hingga 3% adalah vonis mati bagi setiap konstruksi jalan yang dibangun asal-asalan. Karakter tanah lempung dan pasir halus yang sangat rentan terhadap kadar air seharusnya menjadi perhatian utama. Membangun jalan di atas pondasi seperti ini tanpa perlakuan khusus (seperti stabilisasi tanah atau perbaikan subgrade) sama saja dengan membangun istana pasir di tepi pantai. Ini bukan kesalahan teknis, ini adalah kesengajaan mengabaikan standar kelayakan konstruksi.
- Perencanaan Fiktif: Dengan kondisi geologis tersebut, setiap insinyur sipil yang kompeten tahu bahwa perencanaan harus komprehensif. Kegagalan jalan yang berulang kali membuktikan satu hal: proyek-proyek tersebut kemungkinan besar tidak melalui proses perencanaan yang memadai. Pertanyaannya, di mana dokumen perencanaan teknisnya? Apakah Dinas Pekerjaan Umum (PU) bisa menunjukkan data sondir, data DCP, dan desain perkerasan jalan yang sesuai dengan kondisi tanah ekstrem tersebut? Atau jangan-jangan, perencanaan itu hanya ada di atas kertas untuk mencairkan anggaran?
- Kualitas Material yang Diragukan: Kerusakan dini pada pekerjaan yang baru selesai tidak hanya menunjuk pada perencanaan yang buruk, tetapi juga menguatkan dugaan adanya pengurangan volume dan kualitas material. Ini adalah praktik korupsi paling umum dalam proyek infrastruktur: spesifikasi dikurangi demi keuntungan pribadi atau kelompok.
Jika data teknis adalah pelurunya, maka landasan hukum adalah pistol yang siap menembak. Kegagalan di daratan Oba bukanlah kelalaian biasa, melainkan berpotensi kuat sebagai tindak pidana.
- Pelanggaran UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi: Undang-undang ini secara eksplisit mengatur tentang kegagalan bangunan, di mana penyedia jasa dan pengguna jasa (pemerintah) wajib bertanggung jawab. Kerusakan yang sistematis dan berulang ini adalah bukti nyata adanya kegagalan konstruksi yang harus diusut tuntas.
- Potensi Kerugian Negara Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Pasal 2 ayat (1): “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara…” Anggaran yang digelontorkan terus-menerus untuk jalan yang sama tanpa hasil adalah definisi nyata dari kerugian negara.
- Pasal 3: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara.” Pengabaian data teknis dan pembiaran kerusakan adalah bentuk penyalahgunaan kewenangan yang terang-benderang.
Fenomena ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya pembiaran sistematis dari lembaga-lembaga yang seharusnya berfungsi sebagai pengawas.
– Badan Pemeriksa Keuangan (BPK): Apakah audit BPK selama ini hanya sebatas memeriksa kuitansi dan nota belanja? Ataukah audit mereka tidak mampu menyentuh kelayakan teknis dan kewajaran hasil pekerjaan? Data di lapangan sudah menjerit, mengapa laporan audit BPK diam seribu bahasa?
– Kejaksaan dan Kepolisian: Aroma korupsi sudah sangat menyengat. Apakah aparat penegak hukum masih menunggu laporan resmi untuk bergerak? Fakta kerusakan infrastruktur yang merugikan publik adalah bukti permulaan yang lebih dari cukup untuk memulai penyelidikan proaktif. Sikap pasif mereka hanya menimbulkan kecurigaan.
– DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah): Fungsi pengawasan legislatif tampak mandul dan hanya menjadi pemanis bibir saat rapat dengar pendapat. Di mana pengawasan mereka saat anggaran disetujui? Di mana suara lantang mereka saat proyek yang sama gagal berkali-kali? Jangan sampai rakyat menganggap DPRD hanya hadir sebagai stempel bagi kebijakan eksekutif yang koruptif.
Ini bukan lagi tentang jalan rusak, ini adalah tentang hak rakyat yang dirampas, uang negara yang dihamburkan, dan hukum yang dilecehkan. Sudah saatnya masyarakat tidak hanya menuntut aspal, tetapi menuntut keadilan, dan penegakan hukum bagi mereka yang bertanggung jawab atas “kubangan” penderitaan di Oba dan Oba Selatan.
Dan kami selaku pemuda Oba Selatan (Desa Maidi), akan terus menyarakan dan mencoba mengungkap bukti-bukti di lapangan berdasarkan kemampuan kami. Memang Desa Maidi tidak banyak dikenal oleh masyarakat Maluku Utara, namun kualitas pemuda kami bukanlah hal yang bisa dianggap “remeh” demi kepentingan bersama untuk masyarakat Oba dan Oba Selatan, untuk mendapatkan keadilan dan kelayakan menikmati infrastruktur yang memadai.

Tinggalkan Balasan