TPost – Majelis hakim Pengadilan Negeri Soasio, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara, menuai sorotan usai menjatuhkan vonis bersalah terhadap 11 warga adat Maba Sangaji, Kabupaten Halmahera Timur, dalam sidang putusan, Kamis (16/7/2025).

Majelis hakim dipimpin Asma Fadun, mengadili 11 warga adat Maba Sangaji terbukti bersalah melakukan tindak pidana merintangi, atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yakni PT Position.

Sebab itu, Asma menjatuhkan vonis kurungan penjara 5 bulan dan 8 hari dipotong masa tahanan bagi 11 warga adat Maba Sangaji. Tidak hanya itu, 3 dari 11 warga tersebut juga divonis hukuman kurungan penjara tambahan selama 2 bulan.

Usai membacakan putusan, Asma memberikan kesempatan kepada para terdakwa maupun jaksa penuntut umum (JPU) mempunya hak yang sama untuk menerima atau menolak putusan tersebut.

“Apabila menerima, bisa menyatakan saat ini juga, apabila menolak, bisa menggunakan upaya hukum banding, atau apabila masih ragu-ragu, bisa menggunakan waktu berfikirnya selama 7 hari,” ucap Asma.

Menanggapi putusan tersebut, Irfan Alghifari selaku kuasa hukum 11 warga adat Maba Sangaji menyatakan, bahwa majelis hakim dalam persidangan tersebut telah mengabaikan pembicaraan masalah tanah adat yang sudah ada ratusan tahun, dan hanya mementingkan IUP PT Position yang baru ada pada tahun 2017.

“Majelis hakim lalu memilih secara hukum mementingkan IUP dibandingkan tanah adat,” kata Irfan.

Menurutnya, hal ini sangat krusial dan secara formal bisa membahayakan, bukan hanya pada 11 warga adat Maba Sangaji saja tetapi juga terhadap masyarakat adat yang ada di Maluku Utara dan bahkan secara nasional bila menghadapi kasus serupa.

“Jadi penerapan pasal 162 undang-undang minerba ini sangat-sangat berbahaya dan krusial di putusan ini, kemudian dia menghilangkan eksistensi tanah adat beserta sejarahnya,” ujar dia.

Irfan menjelaskan, banyak fakta persidangan yang diabaikan majelis hakim. Seperti halnya kesaksian Sangaji Maba (pemuka adat) yang menyatakan, untuk melakukan upacara adat diberikan ke masing-masing masyarakat adatnya, dan itu dilakukan secara otonom.

Namun, fakta itu malah disampaikan majelis hakim dengan statemen yang berbeda, dengan menyebutkan itu bukan upacara adat menurut Sangaji Maba.

Ia menilai majelis hakim tidak mau membicarakan apakah 11 orang ini dan masyarakat adat Maba Sangaji memang eksis di tanah atas adatnya, dan secara sepihak menyatakan IUP PT Position itu yang dipertimbangkan.

“Jadi bayangkan bahwa putusan majelis ini akan berdampak pada eksistensi tanah adat di seluruh kepulauan di Indonesia,” timpalnya.

Padahal kesaksian pihak Kesultanan Tidore maupun masyarakat adat Maba Sangaji, PT Position selaku pemegang IUP tidak pernah melakukan sosialisasi mengenai ganti rugi.

“Itu problem-problem utama yang kemudian tidak dilihat konteksnya, yang dilihat hanyalah izin usahanya sudah terbit tahun 2017,” tegasnya.

Terkait putusan, Irfan menyebutkan pihak kuasa hukum 11 warga adat Maba Sangaji masih memilih waktu pikir-pikir yang diberikan majelis selama 7 hari.

Perlu diketahui, 11 warga adat Maba Sangaji dijadikan tersangka hingga berstatus terdakwa di persidangan Pengadilan Negeri Soasio, hanya karena melakukan ritual adat di lokasi pertambangan PT Position yang terletak di hutan adat Maba Sangaji.

Dalam ritual tersebut, karena harus menempuh hutan belantara, warga membawa serta benda tajam berupa parang. Namun oleh pihak perusahaan PT Position menganggapnya sebagai upaya pengancaman dan merintangi aktivitas pertambangan.

Perjalanan kasus ini dinilai sebagai upaya kriminalisasi terhadap perjuangan masyarakat adat. Itu sebabnya, dalam sidang putusan, gedung Pengadilan Negeri Soasio langsung dikepung massa aksi mahasiswa dan aktivis peduli lingkungan.

TernatePost.id
Editor