Oleh: Samsudin Sidik

(Mantan Ketua KONI Kabupaten Halmahera Selatan)

Salam Olahraga !!!

Bukan hanya rangkap jabatan, kini fasilitas dan pemasukan Wakil Gubernur Maluku Utara Sarbin Sehe bertambah jika terpilih menjadi ketua umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Alhasil, fasilitas dan pemasukannya juga bakal rangkap.

Hadiah sekaligus kompensasi minimnya fasilitas wakil gubernur. Gaji pokok wakil gubernur kecil. Adalah Rp 2,4 juta per bulan plus fasilitas. Sebagai ketua umum KONI, Sarbin Sehe akan menerima manfaat dari dana hibah pemerintah yang ia pimpin yang nilainya bisa mencapai belasan juta.

Di tengah melaksanakan tugas sebagai wakil gubernur, Sarbin Sehe diwakili oleh timnya menyerahkan dokumen pendaftaran di sekretariat tim penjaringan dan penyaringan musyawarah olahraga provinsi luar biasa (Musorprovlub).

Sarbin Seha dilantik menjadi wakil gubernur pada Februari 2025 mendampingi Gubernur Sherly Tjoanda Laos. Belum setahun berselang, kini Sarbin Sehe bakal mendapatkan jatah posisi baru di induk organisasi olahraga tersebut. Sarbin Sehe melalui timnya mengaku siap menjalankan bila amanah itu diberikan.

Menjadi ketua umum KONI menawarkan keuntungan yang lebih menjanjikan dibanding hanya menjadi wakil gubernur, karena pendapatan yang didapat bakal makin ‘wah’.

Menengok ke undang-undang, pencalonan Sarbin Sehe menjadi ketua umum KONI Maluku Utara periode 2025-2029 melanggar konsitusi. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan diputusannya
Nomor 27/PUU-V/2007, menolak seluruh permohonan uji materi terhadap Pasal 40 UU Nomor 3 Tahun 2005 dengan menegaskan bahwa pengurus komite olahraga nasional (termasuk KONI) harus bersifat mandiri dan tidak terikat dengan jabatan struktural atau publik.

Putusan MK ini harusnya menjadi landasan hukum penting yang tidak dapat diabaikan, khususnya dalam dinamika menjelang Musorprovlub KONI Maluku Utara ini.

Dalam perkara tersebut, pemohon pertama adalah Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur Saleh Ismail Mukadar yang juga ketua umum KONI Kota Surabaya dan pemohon kedua, Syahrial Oesman yakni gubernur sekaligus ketua umum KONI Sumatera Selatan. Keduanya menganggap pembedaan larangan rangkap jabatan publik dalam kepengurusan organisasi cabang olehraga dan komite olahraga sebagai ketentuan yang diskriminatif.

Meskipun undang-undang ini telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan, tetapi prinsip kemandirian pengurus KONI tetap dipertahankan dan ditegaskan melalui norma transisi dalam Pasal 106, yang menyatakan peraturan pelaksanaan dari undang-undang sebelumnya tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan baru.

Syarat menjadi ketua umum KONI

Untuk menjadi ketua umum KONI, siapa pun yang memenuhi kriteria dan berkomitmen untuk memajukan olahraga prestasi di Indonesia memiliki peluang untuk menjadi pemimpin di organisasi ini, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang diatas.

Menarik untuk mempertanyakan bagaimana jika wakil gubernur juga bertanggungjawab sebagai ketua umum KONI? Jika rencana ini menunjukkan bahwa tidak ada orang lain yang layak untuk mengelola KONI? Apakah wakil gubernur memiliki waktu dan perhatian yang cukup untuk mengurus organisasi ini mengingat banyaknya tanggungjawab yang harus dia selesaikan?

KONI harus independen karena fungsinya adalah membantu pemerintah dalam membina olahraga prestasi. Bagaimana jika seorang kepala dan wakil kepala pemerintahan juga bertanggungjawab sebagai ketua umum KONI? Bagaimana hal itu akan berdampak pada nilai profesionalisme dan kemandirian yang menjadi dasar pengelolaan organisasi ini?

Banyak orang tidak setuju keikutsertaan wakil gubernur dalam perebutan kursi ketua umum KONI. Tetapi hal ini, tergantung pada perspektif seseorang, ada berbagai perspektif yang mendukung dan menentang gagasan ini.

Meskipun ada kemungkinan bahwa peran wakil gubernur akan bermanfaat bagi pembinaan prestasi olahraga Maluku Utara, ada juga risiko yang tidak dapat diabaikan. Untuk memberikan pemahaman yang lebih baik, tulisan saya ini akan membahas aspek positif dan negatifnya secara objektif;

Dengan jabatan wakil gubernur, Sarbin Sehe memiliki akses langsung pada kebijakan dan anggaran pemerintah, yang memungkinkan dirinya membantu KONI dan pemprov bekerja sama lebih baik. Dengan menjadi ketua umum KONI, koordinasi ini dapat lebih efektif, yang memungkinkan program pembinaan dan pengembangan olahraga lebih terarah. Kebijakan anggaran yang lebih strategis yang dapat memberi prioritas dukungan keuangan, yang selama ini menjadi salah satu hambatan utama untuk kemajuan olahraga.

Wakil gubernur memiliki kemampuan untuk meningkatkan kredibilitas KONI di mata publik dan mitra kerja sama. Peluang kerja sama lebih besar dengan pemerintah pusat dan sektor swasta dapat muncul setelah wakil gubernur menerima legitimasi. Ini sangat penting untuk mendukung kegianan olahraga besar seperti Porprov dan PON, yang keduanya membutuhkan bantuan logistik dan keuangan yang signifikan.

Namun, risiko konflik kepentingan merupakan salah satu tantangan besar yang harus dihadapi jika wakil gubernur menjabat sebagai ketua umum KONI. Infrastruktur, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan adalah bidang utama tanggungjawabnya sebagai pembantu gubernur.

Jika keterlibatan wakil gubernur dikelola dengan baik, manfaatnya akan terasa, terutama dalam hal peningkatan sumber daya dan koordinasi program olahraga. Namun, jika wakil gubernur menjabat sebagai ketua ukum KONI, dikhawatirkan ada resiko politisasi olahraga, dimana prestasi olahraga digunakan untuk mendapatkan pencitraan politik, mengalihkan perhatian dari peningkatan prestasi olahraga.

Selain itu, ada konflik kepentingan karena peran wakil gubernur sebagai pemimpin organisasi olahraga dan pengambil kebijakan pemerintah, yang kemungkinan dapat mengganggu transparansi dan independensi anggaran. Ketergantungan yang berlebihan pada kebijakan pemerintah membuat kemandirian KONI terancam.

Kritik publik terhadap monopoli jabatan akan meningkat, serta fokus pada prestasi jangka panjang dan pembinaan atlet bisa terabaikan. Untuk menjaga profesionalisme KONI, peran politik dan olahraga sebaiknya dipisahkan.

Tanpa bermaksud saya mencampuri permasalahan yang sedang mendera kepengurusan KONI Maluku Utara. Tapi sebagai orang yang juga pernah memimpin KONI, saya hanya ingin membuka kembali Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2022, Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2021, Perpres Nomor 86 Tahun 2021, serta kandungan AD/ART dan peraturan organisasi (PO) KONI, yang menjadi pedoman organisasi dan wajib untuk ditaati.***