TPost — Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ternate bekerja sama dengan Trend Asia menggelar diskusi publik bertajuk “Maluku Utara dalam Kehancuran oleh Industri Nikel: Bagaimana Media Mengawal Masyarakat Adat”.
Diskusi ini berlangsung di Kedai Mambo, Ternate, Selasa (14/10/2025), dengan menghadirkan sejumlah narasumber dari berbagai latar belakang.
Ketua AJI Ternate Yunita Kaunar, dalam sambutannya menegaskan bahwa persoalan industri nikel di Maluku Utara bukan sekadar isu ekonomi atau investasi, melainkan juga menyangkut hak hidup, ruang adat, dan masa depan masyarakat di daerah penghasil nikel tersebut.
“Di balik gemerlap narasi hilirisasi dan pertumbuhan ekonomi, kita menyaksikan sisi gelap industri nikel, kerusakan lingkungan, hilangnya ruang hidup masyarakat adat, dan munculnya praktik kriminalisasi terhadap warga yang memperjuangkan haknya,” ujar Yunita.
Ia mencontohkan kasus 11 warga adat Maba Sangaji di Halmahera Timur yang dituduh melanggar Undang-undang Minerba hanya karena mempertahankan tanah leluhur dari perusahaan tambang yang beroperasi tanpa persetujuan adat.
“Forum ini bukan sekadar ajang berbagi pandangan, tetapi juga ruang solidaritas dan refleksi bersama agar perjuangan masyarakat adat tidak berjalan sendiri,” tambahnya.
Sementara itu, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara Julfikar Sangaji menilai ekspansi tambang di wilayah ini berjalan masif dan tak terkendali. Negara, menurutnya, lebih memprioritaskan industri ekstraktif ketimbang keberlangsungan hidup masyarakat yang bergantung pada pertanian dan hutan.
“Maluku Utara telah dikuasai kapitalisme ekstraktif. Semua dilegitimasi atas nama kemajuan ekonomi, padahal dampak buruknya sangat besar,” tegas Julfikar.
Dari AJI Ternate, Mahmud Ici menyoroti pentingnya peran media dalam membangun jembatan antara masyarakat, akademisi, dan NGO untuk mengawal kebijakan publik. Ia menekankan perlunya memperkuat media alternatif agar isu masyarakat adat tetap mendapat ruang.
“Media alternatif harus diperkuat untuk mendukung advokasi masyarakat adat. Mereka adalah benteng terakhir penyelamat lingkungan. Ketika masyarakat adat dikriminalisasi, itu pertanda ancaman serius terhadap lingkungan,” ujarnya.
Perwakilan Trend Asia, Zakki Amali, juga menyoroti kasus kriminalisasi terhadap masyarakat adat Maba Sangaji. Ia menilai masyarakat yang memperjuangkan hak atas tanah dan lingkungan tidak seharusnya dipidana.
“Masyarakat Maba adalah korban industri nikel. Mereka tidak layak dikriminalisasi karena sedang memperjuangkan haknya sebagai masyarakat adat. Kami mendesak majelis hakim agar membebaskan mereka,” tegas Zakki.
Sementara itu, Sosiolog Maluku Utara, Rahmat R. Wali, menjelaskan bahwa konflik pertambangan di daerah ini bersifat struktural dan mempengaruhi hubungan sosial di tingkat masyarakat.
“Di Halmahera Utara, saat warga ditangkap, semua masyarakat turun tangan. Tapi di tempat lain, konflik sosial dibiarkan tumbuh, membuat masyarakat terbelah, ada yang melawan, ada yang berpihak pada perusahaan,” katanya.
Rahmat juga menekankan pentingnya penguatan hukum adat dan perlindungan bagi masyarakat yang dikriminalisasi.
“Jika 11 warga bisa dengan mudah dikriminalisasi, bagaimana nasib masyarakat adat lainnya? Harus ada eksposisi lebih dalam dan penguatan undang-undang adat,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan