“Menyoal Dinamika Politik RUU Daerah Kepulauan”

Oleh: Asmar Hi. Daud
(Mahasiswa Doktoral Ilmu Kelautan Unsrat Manado)

Perjuangan masyarakat Maluku dan Maluku Utara untuk mendapatkan pengakuan, perlakuan khusus, serta keadilan dalam pembangunan melalui RUU Daerah Kepulauan merupakan refleksi nyata dari ketimpangan yang terus-menerus diabaikan dalam regulasi nasional. Dukungan tegas Presiden PKS, H. Almuzzammil Yusuf, menjadi pemicu harapan baru di tengah kelesuan politik.

Sayangnya, partai-partai besar lain seperti Golkar, Gerinda, PDIP, Gerindra, Demokrat, Golkar, bahkan para Utusan Daerah (DPD) sampai saat ini belum menunjukkan sikap dan keberpihakan setegas PKS. Mereka tidak menempatkan isu daerah kepulauan apalagi gugus pulau sebagai prioritas advokasi di parlemen.

Padahal, sejatinya pulau-pulau kecil dalam gugus pulau adalah pusat biodiversitas, ekosistem laut-pesisir, serta basis kehidupan sosial-budaya yang beragam dan sangat rentan terhadap ketidakadilan.

Ketidakjelasan nomenklatur membuat kebijakan politik, alokasi anggaran, dan perlindungan sosial-ekologis lebih berpihak kepada wilayah daratan. Sedangkan masyarakat pulau cenderung dilupakan, akses pendidikan, kesehatan, infrastruktur yang kurang layak , dan jaminan keberlanjutan lingkungan yang terabaikan.

Gugus pulau seharusnya diposisikan sebagai satuan wilayah strategis yang saling terhubung secara geografis dan ekosistem, menjadi ruang interaksi masyarakat pesisir dengan lingkungan laut dan daratan kecil.

Pengakuan nomenklatur “gugus pulau” sangat mendasar dan penting agar kebijakan pembangunan tidak lagi bias daratan, melainkan fokus pada karakter unik serta kondisi dan kebutuhan khusus (spesifik) pulau-pulau kecil sehingga keadilan dana (fiscal), dana khusus (afirmatif), perlindungan ekologi, dan partisipasi masyarakat benar-benar dapat diukur nyata.

Tanpa perubahan yang mengadopsi nomenklatur “gugus pulau”, RUU Daerah Kepulauan hanya akan memperdalam ketimpangan dan mengabaikan substansi kebijakan pemberdayaan bagi masyarakat pesisir.

Dengan itu, negara dan lembaga legislatif harus segera bersikap tegas mengintegrasikan nomenklatur “gugus pulau” sebagai unit perlindungan, pembangunan, dan tata kelola wilayah agar keadilan ekologis dan kesejahteraan masyarakat pulau-pulau kecil dapat ditegakkan secara optimal dalam bingkai negara kesatuan Indonesia.

Revisi RUU Daerah Kepulauan tidak sekadar menjembatani kebutuhan administratif, tetapi harus menjadi instrumen perubahan menuju keadilan, keberlanjutan pembangunan, dan pengakuan sejati bagi seluruh masyarakat gugus pulau di Tanah Air.

Landasan hukum sudah jelas, yakni Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan UNCLOS 1982 Pasal 46 mendefinisikan negara kepulauan sebagai kesatuan wilayah laut dan gugusan pulau yang saling terhubung. Sementara UU No. 23 Tahun 2014 juga memberi dasar pembentukan dan perancangan wilayah berbasis kekhususan geografis dan sosiologis. Oleh karenanya, nomenklatur “gugus pulau” layak diangkat dalam kebijakan formal.

Masyarakat di pulau-pulau kecil, seperti di Maluku Utara, hidup dalam jaringan solidaritas maritim yang kuat, dengan interaksi sosial, budaya, dan ekonomi yang saling terkait. Namun, kebijakan nasional selama ini kurang menyentuh kebutuhan spesifik gugus pulau, terutama soal transportasi laut, layanan dasar terpadu, dan kerentanan ekologis akibat perubahan iklim serta aktivitas ekstraktif.

Kondisi ini memperparah kerusakan lingkungan dan memperbesar kesenjangan sosial, sehingga pengakuan dan perlakuan khusus gugus pulau dalam kebijakan menjadi sangat penting untuk menjaga keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat pesisir.

Menyederhanakan identitas wilayah kaya menjadi sekadar kumpulan pulau jelas menggerus relasi sosial-ekologis yang amat penting dalam menyusun kebijakan berbasis laut dan pesisir.

Hanya dengan mengakui gugus pulau sebagai satuan pembangunan dan perlindungan maka keadilan dan keberlanjutan bagi masyarakat paling rentan di Indonesia sangat mungkin diwujudkan. karenanya ketegasan PKS harus menjadi contoh dan motivasi bagi partai-partai besar lainnya untuk keluar dari diam dan mengambil sikap nyata.***